Menonton Wayang Bersama Bapak

Selamat Hari Wayang Nasional

 

Pada 7 November diperingati sebagai hari Wayang Nasional. Meskipun tulisan ini ditulis setelah lewat dari tanggal tersebut tidak apa-apalah ya, sambil mengenang masa-masa kecil saya soal wayang.

Bagi keluarga Jawa tulen seperti saya, menonton wayang bukan merupakan hal asing. Saya lupa kapan pertama kali saya menonton wayang.

Tetapi yang paling saya ingat saat saya duduk di kelas 1 hingga 6 SD orang tua saya rutin mengajak saya menonton pertunjukkan wayang kulit setidaknya sebulan satu kali di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Saat itu saya tidak mengerti, apas sih motivasi orang tua saya untuk mengajak bocah kecil nonton wayang yang -menurut saya saat itu- membosankan.

Akhir pekan saya saat kecil sering dihabiskan di anjungan Jawa Tengah TMII, sambil menunggu bapak kerja di akhir pekan dan malamnya menonton wayang di sana.

Bapak sangat suka sekali wayang kulit, apalagi kalau dalangnya Ki Mantep dan Ki Bayu. Bapak bisa rela jauh-jauh datang ke pertunjukkan mereka.

Pertunjukkan wayang juga momen membekas bagi saya, karena untuk pertama kalinya saya melihat langsung bocah kecil kesurupan. Dulu saya bertanya-tanya, kesurupan itu seperti apa. Saya bertanya kepada orang tua saya, namun jawabannya terlalu absurd.

Hingga akhitnya di hari itu saya mengerti. Kesurupan itu bisa membuat orang hilang kendali dan hilang akal juga. Tapi saya ga mau deh kalau hal itu sampai menimpa saya. Ngeri juga.

Gimana ga, bocah kecil yang kesurupan itu mampu mematahkan sebuah kursi kayu di warung kopi.

Kembali ke cerita wayang, saat saya dewasa akhirnya saya tau jalan cerita yang dibawakan dalang-dalang dalam pertunjukkan wayang kulit, dari mulai cerita tentang Anoman hingga cinta Rama dan Sinta.

Walau saat kecil saya tidak mengerti apa yang dalang katakan, bapak pasti akan menjelaskan bagimana jalan ceritanya kepada saya hingga akhirnya pulas tertidur.

Meskipun demikian, saya merasa bahagia. Bapak melalui wayang kulit mengajarkan saya nilai-nilai kebaikan sejak saya kecil. Bapak juga mengejarkan saya untuk tidak melupakan budaya sendiri.

Suatu malam, seusai pertunjukkan wayang kulit, Bapak mengajak saya menemui seorang kakek yang mengenakan beskap berwarna hitam dengan corak keemasan, lengkap dengan blangkon dan keris di selipkan di punggung.  

Dia adalah dalang Ki Manteb Sudarsono. Dalang legendaris di seluruh tanah Jawa. Untuk pertama kali saya melihat wajahnya  secara langsung dan bukan lewat layar kaca atau iklan Oskadon.

Saya bersalaman dengan beliau. Bapak memperkenalkan saya kepada Ki Manteb. Kemudian, bapak meminta Ki Manteb mendoakan saya semoga menjadi anak yang pandai dan baik hati.

Entah sih Ki Manteb berucap apa, karena ia berbicara dalam bahasa Jawa. Yang pasti kata bapak, meminta doa kepada orang yang lebih tua itu adalah hal baik.

Ya, begitulah cerita meonton wayang bersama bapak yang biasa-biasa saja. Sekarang sih saya sudah jarang menonton wayang kulit secara langsung, karena memang di Jabdetabek sudah jarang yang mengadakan pertunjukkan wayang kulit. Selain biayanya yang cukup ahal, ditabah sedang masa pandemi COVID 19 seperti sekarang.

Meskipun demikian jangan sampai kita melupakan budaya kita ya. Kelak, kalau saya punya anak saya akan mengenalkan kesenian wayang kulit kepdanya. Semoga kalian juga punya niat yang sama ya, melestarikan budaya dan kesenian kita, Indonesia.

Komentar

Postingan Populer