Di Raja Ampat Tidak Ada Uang Koin, Kok Bisa ?



Tinggal di daerah yang baru tentu akan ada pengalaman atau hal menarik yang akan dirasakan. Hal itu juga yang saya alami saat tinggal di Raja Ampat. 

Banyak hal baru yang saya rasakan. Kali ini saya akan bercerita tentang uang koin di Raja  Ampat.

Menurut pengamatan dan pengalaman saya, masyarakat di Raja Ampat tidak menggunakan uang koin untuk bertransaksi sebagai alat tukar.

Kalau kamu ke Raja Ampat, khususnya di pulau Waigeo, jangan kaget jika warung-warung di sini banyak yang tidak menerima uang koin kalau kamu mau bayar sesuatu.

Hal itu menjadi salah satu culture shock pertama yang saya alami saat tinggal di sini. Hehehe 

Dalam pikiran, saya bertanya-tanya sendiri. "Hah? Bagaimana mungkin uang koin sebagai alat tukar resmi di negri sendiri ditolak oleh masyarakatnya sendiri untuk bertransaksi?" "Kok bisa sih?" 

Yaaa, kira-kira begitu yang ada di benak saya. Saya juga penasaran, apa sih alasan masyarakat di sini enggan menggunakan uang koin sebagai alat transaksi. 

Namun, saat itu karena saya benar-benar baru beberapa hari tinggal di sini, saya urungkan niat untuk bertanya.

Saya masih mengumpulkan keberanian untuk menggali jawaban dari pertayaan-pertanyaan yang ada di kepala.

Hingga suatu hari, di rumah makan sederhana yang ada di pulau ini, saya mendengar percakapan yang menarik tentang uang koin.

Ada seorang laki-laki tua. Wajahnya seperti asli Papua. Kulit yang hitam dan rabut keriting. Dengan perawakan yang tegas dan suara berat khas bapak-bapak pada umumnya.

Dia menjelaskan tentang fenomena uang koin itu kepada pria muda yang tengah duduk di depannya. Tampaknya pria itu bukanlah warga asli di sini. 

Saya menerka dari logat bicaranya dan gaya berpakaian yang berbeda dari orang Papua pada umumnya. Pria muda itu dengan khusyuk menyimak cerita sambil meminum jus. Aku yang penasaran turut menyimak cerita itu di meja sebelah.

Laki-laki tua itu mengatakan bahwa uang koin dianggap cukup ribet atau sulit dibawa ke mana-mana. Tidak sepraktis uang kertas. Perhitungan transaksi yang tidak bulat juga dianggap rumit bagi masyarakat di sini. 

Contoh semisal harga sebuah biskuit di pulau Jawa Rp4.800,- Jika kamu bayar dengan uang Rp5.000,- maka kembaliannya koin Rp200,-

Hal seperti itu dianggap cukup repot bagi masyarakat di sini. Jadi harga biskuit yang semula Rp4.800,- maka dibulatkan menjadi Rp5.0000,-

Jadi, harga-harga di sini tidak ada yang harganya nanggung-nanggung seperti Rp9.720,- atau Rp12.300 atau Rp4.500. Yaaa, pokoknya tidak ada nominal yang memungkinkan untuk menggunakan uang koin.

Nominal-nomial harga yang seperti itu kata si laki-laki tua itu dianggap membingungkan dan ribet oleh sebagian besaar masyarakat di sini.

Saya juga pernah menanyakan tentang tidak adanya uang koin di Raja Ampat kepada penduduk asli di sini, saat saya bekerja di sebuah minimarket di Raja Ampat. Dan, jawabannya sama seperti apa yang diceritakan oleh laki-laki tua itu.

Menurut saya pribadi, fenomena tidak digunakannya uang koin di masyarakat Raja Ampat memiliki dampak. Salah satu dampak yang tampak jelas adalah mahalnya harga-harga di sini. Meskipun, bukan menjadi faktor utama, tidak digunakannya uang koin dalam bertransaksi menjadi penyumbang naiknya harga pasar di Raja Ampat.

Dalam tulisan ini saya konteksnya adalah pulau  Waigeo, wilayah Waisai ya, kawan-kawan. Bukan wilayah Raja Ampat secara keseluruhan. Karena wilayah Raja Ampat ini terdiri dari pulau-pulau. 

Hhhhmmm apakah fenomena ini terjadi juga pernah kalian rasakan di daerah lainnya? Kalau kalian punya pengalaman serupa, boleh banget untuk cerita dan diskusi di kolom komentar yaaa. :)

Kalian juga boleh diskusi sama aku di instagramku @desabrini

Terima kasih yaaa sudah baca  cerita kali ini.  Bakal ada cerita menarik lainnya selama tinggal di Raja Ampat. Jadi tunggu update tulisanku lainnya yaaa.

Bye!

Komentar

Postingan Populer